Hutan adat dan pengelolaan kayu: langkah ke depan bagi Indonesia
Masyarakat adat melindungi, mengelola, dan memanfaatkan hutan mereka dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa masyarakat adat menebang dan menjual kayu yang mereka peroleh sebagai sumber mata pencaharian. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dukungan yang diberikan kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka akan membantu mengurangi laju deforestasi di negara-negara tropis.
Sejak zaman dahulu, masyarakat adat Padang Hilalang di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, mengelola 20.000 hektare hutan di dekat daerah pemukiman mereka. Di daerah ini, sama seperti di wilayah adat lainnya, masyarakat tidak memiliki hak penuh untuk secara legal menebang, menjual atau mengangkut kayu. Hal ini dikarenakan pohon yang tumbuh secara alami di kawasan hutan adat tidak diatur dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu – SVLK, yang digunakan untuk memastikan legalitas kayu yang berasal dari hutan negara dan hutan hak di Indonesia.
Mengakomodir kayu dari hutan adat dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia
EU REDD Facility melakukan studi melalui kerja sama dengan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (KARSA) untuk mengeksplorasi berbagai opsi dalam mengintegrasikan hutan adat ke dalam SVLK Indonesia serta melakukan penilaian terhadap berbagai opsi produksi dan perdagangan kayu yang berasal dari hutan adat secara legal dan berkelanjutan. Padang Hilalang adalah salah satu dari tiga masyarakat adat yang tercakup di dalam studi ini. Dua kelompok masyarakat lainnya adalah Dayak Tomun di Kalimantan Barat dan Oktim Orya di Papua. Studi tersebut menyoroti kesenjangan antara penebangan kayu dan penjualan kayu yang dilakukan oleh masyarakat adat saat ini, dengan peraturan yang ada tentang pemanfaatan dan penatausahaan hasil hutan.
Penelitian lapangan dalam studi ini menyediakan informasi tentang bagaimana masyarakat adat tersebut berupaya untuk mendapatkan pengakuan hukum atas status kepemilikan dan hak mereka atas hutan tersebut, cara mereka mengelola hutan dan hasil hutan kayu, serta tantangan yang mereka hadapi dan aspirasi mereka terkait pengelolaan hutan dan kayu.
Studi yang dilakukan – “Potensi untuk mengintegrasikan hutan adat ke dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia” – mencakup analisis hukum yang mendalam dan dilakukan untuk mendukung klausul yang ada di dalam Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa (EU) tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT). Klausul tersebut menyatakan bahwa harus disertakan perubahan terkait hutan adat di dalam prosedur SVLK untuk mencerminkan pengadopsian putusan penting Mahkamah Konstitusi Indonesia tahun 2013, yang membatalkan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adat adalah bagian dari Kawasan Hutan Negara. FLEGT VPA adalah kesepakatan perdagangan bilateral yang mengikat secara hukum serta bertujuan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan mendorong perdagangan kayu legal dari Indonesia ke EU.

Praktik penebangan dan perdagangan kayu saat ini
Di Padang Hilalang, tanah adat masuk ke dalam dua kategori hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu ‘hutan produksi’ dan ‘area penggunaan lain’. Tetua adat masyarakat, yakni para ninik mamak, memberi arahan pengelolaan tanah adat dan sumber daya, yang mencakup komoditas kayu. Dalam lima tahun terakhir, masyarakat adat ini telah mengizinkan dua perusahaan setempat untuk menebang kayu dari tanah masyarakat adat yang berstatus ‘area penggunaan lain’. Peraturan yang berlaku tentang legalitas kayu menetapkan bahwa tidak semua jenis kayu dari hutan hak dapat ditebang. Hanya kayu yang “dibudidayakan” dari tegakan pohon non-alami yang dapat ditebang di wilayah adat.
Dalam inventarisasi tegakan sebelum penebangan, masyarakat adat Padang Hilalang memastikan bahwa perusahaan hanya akan menebang jenis kayu tertentu yang berada di luar daerah keramat bagi masyarakat, seperti makam leluhur. Inventarisasi juga melibatkan petugas dari Kesatuan Pengelolaan Hutan terdekat yang dibentuk oleh Pemerintah. Selama ini, penebangan kayu telah dilakukan di kurang dari sepuluh persen tanah adat Padang Hilalang.
Kesepakatan antara masyarakat adat dan perusahaan yang melakukan penebangan mencakup mekanisme pembagian keuntungan berdasarkan volume dan jenis kayu yang ditebang. Perusahaan juga membantu menyiapkan dokumen angkutan kayu yang diperlukan, yang akan diterbitkan oleh anggota masyarakat adat. Nota Angkutan yang dilengkapi dengan surat yang menjelaskan status tanah adat yang dikeluarkan oleh ninik mamak akan memastikan legalitas kayu yang dipanen di areal penggunaan lain Padang Hilalang. Kayu yang berasal dari Padang Hilalang umumnya digunakan sebagai material untuk industri mebel di provinsi Sumatra Barat.
Jalur untuk mendapatkan pengakuan hutan adat
Masyarakat adat Padang Hilalang, seperti sebagian masyarakat adat di daerah-daerah lain di Indonesia, berharap agar Pemerintah mengizinkan mereka menebang kayu dari seluruh bagian tanah mereka. Bagi mereka, kesempatan untuk menebang kayu – kayu budidaya dan kayu alam – merepresentasikan pengakuan atas hak mereka dalam mengelola hutan mereka sendiri. Apalagi, menurut mereka, perusahaan penebangan kayu telah diberikan hak untuk menebang kayu alam dan kayu budidaya selama beberapa dekade.
Secara teoritis, setelah dicabutnya ketentuan dalam UU Kehutanan yang menetapkan bahwa hutan adat merupakan bagian dari kawasan hutan negara, ratusan masyarakat adat di seluruh Indonesia – seperti masyarakat Padang Hilalang – kini dapat mengklaim kepemilikan atas hutan setelah klaim mereka diakui Pemerintah.
Proses yang dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menawarkan jalur persetujuan yang paling progresif dalam proses pengakuan hutan adat. Walaupun demikian, jalur ini membutuhkan proses yang terdiri dari dua langkah. Perwakilan masyarakat adat hanya dapat mengajukan permohonan pengakuan hutan adat setelah masyarakat adat tersebut telah diakui melalui peraturan tingkat kabupaten dan/atau keputusan bupati.

Mengurangi ilegalitas dan deforestasi dengan mengakui hutan adat
Amendemen SVLK untuk mengintegrasikan kayu dari hutan adat sesuai dengan mandat Kesepakatan Kemitraan Sukarela antara Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan akan menyediakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat adat, sekaligus mengurangi ilegalitas, deforestasi, dan degradasi hutan.
Masyarakat adat di Padang Hilalang belum diakui sebagai masyarakat adat berdasarkan hukum Indonesia dan proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah masyarakat adat membutuhkan banyak biaya dan memakan waktu. Mereka sudah mulai melibatkan akademisi dari universitas di ibu kota provinsi untuk meningkatkan peluang mendapatkan pengakuan tersebut, serta merasa yakin bahwa ke depan mereka dapat mengelola produksi kayu secara berkelanjutan dan memenuhi persyaratan SVLK untuk melakukan penebangan kayu alam.
Mendukung masyarakat adat untuk mengelola hutan secara legal dan lestari
Dari hasil analisis hukum, penelitian lapangan, dan konsultasi multi-pihak, EU REDD Facility dan KARSA telah mengusulkan serangkaian standar dan pedoman verifikasi legalitas kayu khusus untuk hutan adat. Langkah-langkah persiapan tambahan juga telah diidentifikasi untuk mendukung masyarakat adat dalam mengelola hutan mereka secara lestari, serta untuk berpartisipasi dalam sistem verifikasi legalitas kayu, jika mereka berencana untuk menebang dan menjual hasil hutan secara komersial.
Studi tersebut, yang akan memberikan informasi bagi proses revisi kebijakan tentang SVLK dan hutan adat yang tengah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, merekomendasikan hal-hal berikut:
- Mempercepat proses pengakuan hutan adat, misalnya dengan menggabungkan proses pengakuan masyarakat adat dengan proses pengakuan hutan adat.
- Menjadikan proses standar verifikasi legalitas kayu yang tengah diajukan ini sebagai jalur untuk melakukan penebangan kayu secara legal, serta menyediakan bantuan yang dibutuhkan untuk melindungi dari penebangan kayu yang berlebihan dan penyalahgunaan hutan adat.
Secara bersama-sama, upaya-upaya ini seharusnya dapat melindungi hutan adat dari penyalahgunaan dalam bentuk penebangan kayu secara ilegal, sembari meningkatkan kesetaraan bagi kelompok adat.

Paramita L. Iswari
Head
Circle for Rural and Agrarian Reform (KARSA)

Satrio provides technical and analytical support for the Facility’s work on forest and land use governance in Southeast Asia. He is based in the European Forest Institute’s office in Kuala Lumpur, Malaysia.
Satrio previously worked on forest and ocean issues at World Resources Institute Indonesia, where he managed projects and conducted research on forest and landscape restoration, social forestry, and sustainable ocean and coastal ecosystems. He has a background in climate science, environmental studies, and international relations.