• News
  • Events
  • Blog
  • Subscribe
  • Home
  • About
    • Our strategy
    • Our team
    • About REDD+
  • Our work
    • Legal frameworks and enforcement
    • Sustainable land-use management
    • Transparency in production and trade
  • Countries
    • Africa
      • Cameroon
      • Côte d’Ivoire
      • Democratic Republic of the Congo
      • Republic of the Congo
    • Asia
      • Indonesia
      • Laos
      • Vietnam
    • Latin America
      • Colombia
      • Ecuador
  • Tools
  • Publications
  • Search
  • Menu Menu
You are here: Home1 / Blog2 / Hutan adat dan pengelolaan kayu: langkah ke depan bagi Indonesia

Hutan adat dan pengelolaan kayu: langkah ke depan bagi Indonesia

28 July 2021/by Satrio Adi Wicaksono

Masyarakat adat melindungi, mengelola, dan memanfaatkan hutan mereka dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa masyarakat adat menebang dan menjual kayu yang mereka peroleh sebagai sumber mata pencaharian.  Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dukungan yang diberikan kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka akan membantu mengurangi laju deforestasi di negara-negara tropis.

Sejak zaman dahulu, masyarakat adat Padang Hilalang di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, mengelola 20.000 hektare hutan di dekat daerah pemukiman mereka.  Di daerah ini, sama seperti di wilayah adat lainnya, masyarakat tidak memiliki hak penuh untuk secara legal menebang, menjual atau mengangkut kayu. Hal ini dikarenakan pohon yang tumbuh secara alami di kawasan hutan adat tidak diatur dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu – SVLK, yang digunakan untuk memastikan legalitas kayu yang berasal dari hutan negara dan hutan hak di Indonesia.
 

Mengakomodir kayu dari hutan adat dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia

EU REDD Facility melakukan studi melalui kerja sama dengan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (KARSA) untuk mengeksplorasi berbagai opsi dalam mengintegrasikan hutan adat ke dalam SVLK Indonesia serta melakukan penilaian terhadap berbagai opsi produksi dan perdagangan kayu yang berasal dari hutan adat secara legal dan berkelanjutan. Padang Hilalang adalah salah satu dari tiga masyarakat adat yang tercakup di dalam studi ini. Dua kelompok masyarakat lainnya adalah Dayak Tomun di Kalimantan Barat dan Oktim Orya di Papua. Studi tersebut menyoroti kesenjangan antara penebangan kayu dan penjualan kayu yang dilakukan oleh masyarakat adat saat ini, dengan peraturan yang ada tentang pemanfaatan dan penatausahaan hasil hutan.

Penelitian lapangan dalam studi ini menyediakan informasi tentang bagaimana masyarakat adat tersebut berupaya untuk mendapatkan pengakuan hukum atas status kepemilikan dan hak mereka atas hutan tersebut, cara mereka mengelola hutan dan hasil hutan kayu, serta tantangan yang mereka hadapi dan aspirasi mereka terkait pengelolaan hutan dan kayu.

Studi yang dilakukan – “Potensi untuk mengintegrasikan hutan adat ke dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia” – mencakup analisis hukum yang mendalam dan dilakukan untuk mendukung klausul yang ada di dalam Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa (EU) tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT). Klausul tersebut menyatakan bahwa harus disertakan perubahan terkait hutan adat di dalam prosedur SVLK untuk mencerminkan pengadopsian putusan penting Mahkamah Konstitusi Indonesia tahun 2013, yang membatalkan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan adat adalah bagian dari Kawasan Hutan Negara. FLEGT VPA adalah kesepakatan perdagangan bilateral yang mengikat secara hukum serta bertujuan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan mendorong perdagangan kayu legal dari Indonesia ke EU.

Diskusi dengan ninik mamak (ketua adat) masyarakat adat Padang Hilalang di Sumatra Barat, Indonesia.
Diskusi dengan ninik mamak (ketua adat) masyarakat adat Padang Hilalang di Sumatra Barat, Indonesia. Sumber: Pandong Spenra, KARSA

Praktik penebangan dan perdagangan kayu saat ini

Di Padang Hilalang, tanah adat masuk ke dalam dua kategori hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu ‘hutan produksi’ dan ‘area penggunaan lain’.  Tetua adat masyarakat, yakni para ninik mamak, memberi arahan pengelolaan tanah adat dan sumber daya, yang mencakup komoditas kayu.  Dalam lima tahun terakhir, masyarakat adat ini telah mengizinkan dua perusahaan setempat untuk menebang kayu dari tanah masyarakat adat yang berstatus ‘area penggunaan lain’.  Peraturan yang berlaku tentang legalitas kayu menetapkan bahwa tidak semua jenis kayu dari hutan hak dapat ditebang.  Hanya kayu yang “dibudidayakan” dari tegakan pohon non-alami yang dapat ditebang di wilayah adat. 

Dalam inventarisasi tegakan sebelum penebangan, masyarakat adat Padang Hilalang memastikan bahwa perusahaan hanya akan menebang jenis kayu tertentu yang berada di luar daerah keramat bagi masyarakat, seperti makam leluhur. Inventarisasi juga melibatkan petugas dari Kesatuan Pengelolaan Hutan terdekat yang dibentuk oleh Pemerintah. Selama ini, penebangan kayu telah dilakukan di kurang dari sepuluh persen tanah adat Padang Hilalang.  

Kesepakatan antara masyarakat adat dan perusahaan yang melakukan penebangan mencakup mekanisme pembagian keuntungan berdasarkan volume dan jenis kayu yang ditebang. Perusahaan juga membantu menyiapkan dokumen angkutan kayu yang diperlukan, yang akan diterbitkan oleh anggota masyarakat adat.  Nota Angkutan yang dilengkapi dengan surat yang menjelaskan status tanah adat yang dikeluarkan oleh ninik mamak akan memastikan legalitas kayu yang dipanen di areal penggunaan lain Padang Hilalang.  Kayu yang berasal dari Padang Hilalang umumnya digunakan sebagai material untuk industri mebel di provinsi Sumatra Barat.
 

Jalur untuk mendapatkan pengakuan hutan adat

Masyarakat adat Padang Hilalang, seperti sebagian masyarakat adat di daerah-daerah lain di Indonesia, berharap agar Pemerintah mengizinkan mereka menebang kayu dari seluruh bagian tanah mereka.  Bagi mereka, kesempatan untuk menebang kayu – kayu budidaya dan kayu alam – merepresentasikan pengakuan atas hak mereka dalam mengelola hutan mereka sendiri. Apalagi, menurut mereka,  perusahaan penebangan kayu telah diberikan hak untuk menebang kayu alam dan kayu budidaya selama beberapa dekade. 

Secara teoritis, setelah dicabutnya ketentuan dalam UU Kehutanan yang menetapkan bahwa hutan adat merupakan bagian dari kawasan hutan negara, ratusan masyarakat adat di seluruh Indonesia – seperti masyarakat Padang Hilalang – kini dapat mengklaim kepemilikan atas hutan setelah klaim mereka diakui Pemerintah. 

Proses yang dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menawarkan jalur persetujuan yang paling progresif dalam proses pengakuan hutan adat. Walaupun demikian, jalur ini membutuhkan proses yang terdiri dari dua langkah.  Perwakilan masyarakat adat hanya dapat mengajukan permohonan pengakuan hutan adat setelah masyarakat adat tersebut telah diakui melalui peraturan tingkat kabupaten dan/atau keputusan bupati.

Tanda yang menunjukkan nama dan batas jorong masyarakat adat Padang Hilalang. Di Sumatra Barat, jorong mengacu pada sekelompok rumah tangga dalam pemukiman masyarakat atau desa.
Tanda yang menunjukkan nama dan batas jorong masyarakat adat Padang Hilalang. Di Sumatra Barat, jorong mengacu pada sekelompok rumah tangga dalam pemukiman masyarakat atau desa. Sumber: Pandong Spenra, KARSA

Mengurangi ilegalitas dan deforestasi dengan mengakui hutan adat

Amendemen SVLK untuk mengintegrasikan kayu dari hutan adat sesuai dengan mandat Kesepakatan Kemitraan Sukarela antara Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan akan menyediakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat adat, sekaligus mengurangi ilegalitas, deforestasi, dan degradasi hutan.

Masyarakat adat di Padang Hilalang belum diakui sebagai masyarakat adat berdasarkan  hukum Indonesia dan proses untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah masyarakat adat membutuhkan banyak biaya dan memakan waktu.  Mereka sudah mulai melibatkan akademisi dari universitas di ibu kota provinsi untuk meningkatkan peluang mendapatkan pengakuan tersebut, serta merasa yakin bahwa ke depan mereka dapat mengelola produksi kayu secara berkelanjutan dan memenuhi persyaratan SVLK untuk melakukan penebangan kayu alam.
 

Mendukung masyarakat adat untuk mengelola hutan secara legal dan lestari

Dari hasil analisis hukum, penelitian lapangan, dan konsultasi multi-pihak, EU REDD Facility dan KARSA telah mengusulkan serangkaian standar dan pedoman verifikasi legalitas kayu khusus untuk hutan adat. Langkah-langkah persiapan tambahan juga telah diidentifikasi untuk mendukung masyarakat adat dalam mengelola hutan mereka secara lestari, serta untuk berpartisipasi dalam sistem verifikasi legalitas kayu, jika mereka berencana untuk menebang dan menjual hasil hutan secara komersial. 

Studi tersebut, yang akan memberikan informasi bagi proses revisi kebijakan tentang SVLK dan hutan adat yang tengah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, merekomendasikan hal-hal berikut:

  • Mempercepat proses pengakuan hutan adat, misalnya dengan menggabungkan proses pengakuan masyarakat adat dengan proses pengakuan hutan adat.
  • Menjadikan proses standar verifikasi legalitas kayu yang tengah diajukan ini sebagai jalur untuk melakukan penebangan kayu secara legal, serta menyediakan bantuan yang dibutuhkan untuk melindungi dari penebangan kayu yang berlebihan dan penyalahgunaan hutan adat.

Secara bersama-sama, upaya-upaya ini seharusnya dapat melindungi hutan adat dari penyalahgunaan dalam bentuk penebangan kayu secara ilegal, sembari meningkatkan kesetaraan bagi kelompok adat.

Paramita L. Iswari

Paramita L. Iswari

Head

Circle for Rural and Agrarian Reform (KARSA)

Satrio Adi Wicaksono
Satrio Adi Wicaksono

Satrio provides technical and analytical support for the Facility’s work on forest and land use governance in Southeast Asia. He is based in the European Forest Institute’s office in Kuala Lumpur, Malaysia.

Satrio previously worked on forest and ocean issues at World Resources Institute Indonesia, where he managed projects and conducted research on forest and landscape restoration, social forestry, and sustainable ocean and coastal ecosystems. He has a background in climate science, environmental studies, and international relations.

Tags: customary forest, svlk, timber legality
https://euredd.efi.int/wp-content/uploads/2022/06/Discussion-customary-community-Indonesia-Pandong-Spenra-KARSA.jpg 570 1000 Satrio Adi Wicaksono https://euredd.efi.int/wp-content/uploads/2022/06/EU-REDD-Facility-logo-tagline.svg Satrio Adi Wicaksono2021-07-28 08:20:002022-06-16 08:53:51Hutan adat dan pengelolaan kayu: langkah ke depan bagi Indonesia
You might also like
Vietnam local-level integrated monitoring tool: monitoring timber legality, deforestation and ecosystem services
Discussion with the ninik mamak, or customary heads, of the Padang Hilalang customary community in West Sumatra, Indonesia.Pandong Spenra, KARSAA way forward for Indonesian customary forests and timber management
Exploring synergies between the FLEGT VPA legality definition and REDD+ safeguards in Vietnam
Discussion with the ninik mamak, or customary heads, of the Padang Hilalang customary community in West Sumatra, Indonesia.Pandong Spenra, KARSACustomary forests and timber management: a way forward in Indonesia
Aerial views of Buluq Sen village, East Kalimantan, IndonesiaNanang Sujana, CIFORBringing our voices to the land-use governance dialogue
Manuel Boissière, CIRAD and CIFORIntegrating customary forests in Indonesia’s legality assurance system

Latest blog posts

  • A stakeholder mapping exercise with representatives of oil palm smallholders from Bunga Karang Village, Banyuasin District, South Sumatra Province, Indonesia, where EFI and partners support the implementation of social forestry policy.WRI IndonesiaEnhancing land security: lessons from Côte d’Ivoire and Indonesia30 November 2022 - 11:46 am

    In many parts of the world, Indigenous Peoples and local communities have no legal recognition of their rights over the forest land they live on. At the EU REDD Facility, we have gathered experience in Côte d’Ivoire and Indonesia to find innovative solutions to enhance local communities’ and smallholders’ legal security over their lands.

  • Ivorian couple holds their land certificateNitidaeSecuring land rights: one stone, three birds30 November 2022 - 10:58 am

    Land tenure insecurity is a key driver of deforestation and land degradation. In contrast, tenure security comes with significant climate, biodiversity and development benefits: three birds with one stone. However, when looking at the national climate plans of major forest countries, more could be done to foster the securing of land rights.

  • Palm oil plantations in IndonesiaSatrio Wicaksono, EFITraining land-use planners for sustainable landscapes13 July 2022 - 5:59 pm

    Landscapes around the world have experienced dramatic transformations in recent decades. Global supply chains link smallholder palm oil farmers in Indonesia with major retailers, like Lidl, Carrefour and Tesco, in Europe or cocoa growers in Ghana to chocolatiers in Belgium. The growing population of our globalised world has intensified pressure on land, soils, water and forests. Ensuring the health of these ecosystems is essential to address climate change, biodiversity loss and land degradation to achieve sustainable development.

  • Reducing the bitterness of coffee from Vietnam’s Central Highlands20 June 2022 - 3:00 pm

    I love coffee in the morning, its taste, its aroma and the boost of energy it gives me to start the day. While enjoying a fresh brew some years ago, I began to think about what was behind my morning cup – where do the beans come from? What are the landscapes where they are produced like? And who are the people that harvest this coffee?

  • Six ingredients of successful partnerships for legal and sustainable forest-risk commodities20 June 2022 - 1:46 pm

    How can we ensure legal and sustainable value chains that unleash local wellbeing and protect forest and biodiversity without excluding smallholders? The answer may be in the mixing of six ingredients to whip up successful multistakeholder partnerships that can support legal and sustainable supply chains of forest-risk commodities.

  • 10 years 10 lessonsSeason’s greetings and 2021 in review31 December 2021 - 4:34 pm

    As 2021 draws to a close, I’d like to take this opportunity to share some highlights from this year’s work by the EU REDD Facility. This year we celebrated the 10th anniversary of our founding, taking the opportunity to reflect on the lessons we learned over the last decade. We’re working to ensure these insights help to shape and accelerate action for protecting and restoring the world’s forests.

About the EU REDD Facility

The EU REDD Facility supports countries in improving land-use governance as part of their efforts to slow, halt and reverse deforestation. It also supports the overall EU effort to reduce its contribution to deforestation in developing countries. The Facility focuses on countries that are engaged in REDD+, an international mechanism that incentivises developing countries to reduce greenhouse gas emissions from their forest and land-use sectors. The Facility is hosted by the European Forest Institute and was established in 2010.

Disclaimer

This website has been produced with the assistance of the European Union and the Governments Germany, Ireland and the Netherlands. The contents of this site are the sole responsibility of the European Forest Institute’s EU REDD Facility and can under no circumstances be regarded as reflecting the position of funding organisations.

Terms of use | Privacy notice | Subscribe | Contact us
Except where otherwise noted, content on this site is licensed under Creative Commons BY-NC-ND 4.0. Credit information: European Forest Institute, www.efi.int
Scroll to top

This site uses cookies. By continuing to browse the site, you are agreeing to our use of cookies.

OkLearn more

Cookie and privacy settings



How we use cookies

We may request cookies to be set on your device. We use cookies to let us know when you visit our websites, how you interact with us, to enrich your user experience, and to customize your relationship with our website.

Essential website cookies

These cookies are strictly necessary to provide you with services available through our website and to use some of its features.

Google Analytics cookies

These cookies collect information that is used either in aggregate form to help us understand how our website is being used or how effective our communication campaigns are, or to help us customize our website and application for you to enhance your experience.

Other external services

We also use different external services like Google Webfonts and external Video providers.

Google Webfont Settings:

Google reCaptcha Settings:

Vimeo and Youtube video embeds:

Embedded content from other websites

Articles on this site may include embedded content (e.g. videos, images, articles, etc.). Embedded content from other websites behaves in the exact same way as if the visitor has visited the other website.

These websites may collect data about you, use cookies, embed additional third-party tracking, and monitor your interaction with that embedded content, including tracking your interaction with the embedded content if you have an account and are logged in to that website.

Privacy notice

You can read about our cookies and privacy settings in detail on our Privacy notice page.

Privacy notice
Accept settingsRefuse all cookies